Pengertian Integritas
Integritas berasal dari bahasa Latin integer; incorruptibility , firm adherence to a code of especially moral a acristic values, yaitu , yang artinya sikap yang teguh mempertahankan prinsip , tidak mau korupsi, dan menjadi dasar yang melekat pada diri sendiri sebagai nilai-nilai moral.
Integritas adalah konsistensi dan keteguhan yang tak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dan keyakinan definisi lain dari integritas adalah suatu konsep yang menunjuk konsistensi antara tindakan dengan nilai dan prinsip. Dalam etika, integritas diartikan sebagai kejujuran dan kebenaran dari tindakan seseorang. Lawan dari integritas adalah hipocrisy (hipokrit atau munafik).
Secara umum Integritas diartikan sebagai sebuah konsistensi dan keteguhan yang tidak tergoyahkan dalam menjunjung tinggi nilai-nilai luhur serta keyakinan. Integritas juga dapat diartikan sebagi suatu konsep yang menatap konsistensi antara suatu tindakan dengan nilai atau prinsip. Dalam sudut pandang etika, integritas dikatakan sebagai kejujuran atau kebenaran dari setiap tindakan seseorang. Lawan kata dari integritas adalah hipocrisy (munafik).
Seseorang dapat dikatakan “memiliki integritas” apabila tindakan yang dilakukan oleh seseorang tersebut telah sesuai dengan nilai, prinsip serta keyakinan yang dipegangnya. Perumpamaan mudahnya ciri seorang yang memiliki integritas adalah ditandai dengan kata-katanya yang selalu benar atau dapat dipegang selaras dengan perbuatan yang dilakukannya. Seorang yang memiliki integritas adalah tipe manusia yang tidak memilki banyak wajah, serta penampilannya disesuaikan dengan kepentingan pribadinya. Integritas menjadi kunci utama karakter seorang pemimpin. Seorang pemimpin yang memiliki integritas akan mendapatkan kepercayaan (trust) dari bawahannya atau dari orang-orang yang ia pimpin. Pemimpin yang memiliki integritas selalu dipercayai karena apa yang Ia ucapankan selalu sesuai dengan tindakannya.
Integritas Menurut Para Ahli
Sebenarnya banyak sekali pendapat para ahli tentang arti kata integritas, akan tetapi hanya beberapa saja yang dapat Ayoksinau.com tuliskan di artikel ini sebagai bahan pertimbangan Anda dalam mendeskripsikan pengertian integritas. Adapun beberapa pendapat tersebut adalah sebagai berikut.
- Menurut Henry Cloud
integritas adalah upaya seseorang untuk menjadi orang yang utuh walaupun di setiap bagian dirinya berbeda. Integritas juga diartikan sebagai orang yang selalu bekerja dengan baik dan selalu menjalankan tugasnya sesuai dengan apa yang telah direncanakannya sebelumnya. Integritas sangat berkaitan dengan keefektifan serta keutuhan seseorang sebagai seorang manusia. - Kamus Besar Bahasa Indonesia
integritas dapat diartikan sebagai sifat, mutu dan keadaan yang menggambarkan suatu kesatuan yang utuh, sehingga mempunyai potensi dan kemampuan yang selalu memancarkan kejujuran dan kewibawaan. - Menurut Ippho Santoso
integiras ialah menyatunya perkataan, pikiran, serta perbuatan agar dapat melahirkan kepercayaan. Jika dilihat dari asal katanya, integritas mempunyai makna berbicara secara lengkap dan utuh seutuh-utuhnya. - Menurut Andreas Harefa
integritas adalah 3 hal yang selalu dapat kita amati, yaitu memenuhi komitmen, menunjukkan kejujuran, dan mengerjakan sesuatu dengan penuh konsisten.
Ciri dan Manfaat Integritas
Ciri-ciri Integritas
- Orang yang tidak memakai kedok.
- Orang yang bertindak sesuai dengan ucapan
- Sama di depan dan dibelakang
- Konsisten antara apa yang diimani dan kelakuannya
- Konsisten antara nilai hidup yang dianut dan hidup yang dijalankan
Manfaat dan Fungsi Integritas
- Secara fisik kita akan merasa sehat dan bugar
- Secara intelektual otak kita terlatih berpikir secara ilmiah
- Secara emosional kita menjadi manusia yang termotivasi, mampu menyesuaikan diri terhadap situasi apa pun
- Secara spiritual kita mampu memaknai berbagai pengalaman kita, mampu melihat berbagai fenomena kehidupan dalam perspektif yang lebih dalam, utuh dan menyeluruh
- Secara sosial kita semakin mampu membangun hubungan kemanusiaan
Mengapa kita harus berintegritas?
- Karena integritas adalah kualitas yang Tuhan cari dalam diri seseorang. 1 Petrus 1 : 16 mengatakan demikian “ Kuduslah kamu ! Sebab Aku kudus “ Sebagai mahkluk yang diciptakan menurut citra diri Allah, Allah menghendaki kita untuk berusaha menjadi sama dengan Dia.
- Integritas menentukan masa depan kita Orang yang memiliki integritas pasti memiliki masa depan yang lebih baik karena dia adalah pribadi yang benar dihadapan Tuhan dan manusia.
- Integritas kita berpengaruh pada lingkungan. Bila kita hidup sebagai orang yang berintegritas maka apa yang kita lakukan sedikit banyak akan diikuti oleh orang yang disekitar kita apalagi bila kita adalah seorang pemimpin. Cara berpikir kita akan diikuti oleh orang yang kita pimpin.
- Integritas adalah kotbah yang hidup. Bila kita hidup sebagai orang yang memiliki integritas maka orang akan mengenal bahwa orang Kristen adalah orang yang berintegritas, apa yang kita katakana dengan mudah akan di terima oleh orang lain sehingga kita lebih mudah menginjili mereka karena hidup kita sudah memberikan kesaksian yang banyak pada mereka.
Cara Kunci mengembangkan integritas
- Perhatikan hal-hal yang kecil
Segala sesuatu selalu dimulai dari hal-hal kecil. Saya pernah menyusun sebuah puzzle yang besar dan saya memulainya dengan meletakkan sebuah potongan kecil. Kita juga sering tersandung karena hal-hal yang kecil. Karena itu selalu perhatikan hal-hal kecil, perkara yang sepele. - Katakan “ TIDAK “ pada pencobaan
Ketika pencobaan datang kita punya kuasa untuk berkata tidak. Sekalipun bila kita melakukan tidak ada orang yang tahu. Tapi kita dan Tuhan tahu bila kita telah jatuh dalam pencobaan. - Jangan bedakan kehidupan di depan umum dan ketika tidak di lihat oleh orang.
Jangan ingin di puji orang. Lakukan apa yang seharusnya kita harus lakukan baik dilihat atau tidak oleh orang lain karena kita melakukannya untuk Tuhan.
Peran Integritas sebagai Loyalitas
Dalam etika objektivisme, integritas diartikan sebagai loyalitas terhadap prinsip prinsip dan nilai-nilai yang rasional (Peikoff, 1991). Meski objektivisme sendiri sebenarnya mendapat banyak kritik ketika digunakan sebagai pondasi dasar pengembangan etika karena sifat etikanya yang egoistik (lihat Rand, 1964; dan keberatan terhadap objektivisme dalam Barry & Stephens, 1998), aksioma objektivisme dapat membantu mengembangkan konsep integritas. Pada intinya, objektivisme menekankan bahwa realitas berada terpisah dari kesadaran manusia dan manusia yang berkesadaran itu berhubungan dengan realitas melalui akal budinya melalui proses pembentukan konsep dan logika. Dan karena memiliki kesadaran dan akal budi, manusia memiliki kemampuan untuk berpikir atau tidak berpikir, dan karenanya dapat memilih alternatif-alternatif tindakan yang ada. Hal pertama yang dapat ditarik dari konsepsi objektivisme terhadap integritas adalah bahwa integritas adalah sebuah bentuk loyalitas, yaitu keteguhan hati seseorang untuk memegang prinsip dan nilai moral universal.
Prinsip moral adalah norma, yaitu aturan moral yang menganjurkan atau melarang seseorang untuk berbuat sesuatu. Dasar dari prinsip moral itu adalah nilai moral. Prinsip moral untuk tidak membunuh orang lain ataupun diri sendiri berdiri di atas pemikiran bahwa kehidupan adalah sesuatu yang bernilai moral secara universal. Hal kedua adalah bahwa integritas bukan tentang perkataan semata, tetapi juga mencerminkan tindakan yang sejalan dengan prinsip dan nilai moral universal dan rasional (Becker , 1998).
Di sini loyalitas terhadap prinsip atau nilai itu diwujudkan dalam bentuk tindakan, di mana loyalitas itu ditunjukkan sebagai keteguhan hati seseorang untuk bertindak sejalan dengan prinsip atau nilai yang dipegangnya itu. Meski demikian, hal ini tidak berarti bahwa tidak ada kemungkinan bagi seseorang untuk berubah, bahkan seseorang memiliki kewajiban untuk mengubah pandangannya bila apa yang selama ini dipegang olehnya salah (Peikoff, 1991; Becker, 1998). Hal ketiga, integritas bukan sekadar bertindak sejalan dengan suatu prinsip atau nilai, tetapi prinsip atau nilai objektif yang dapat dibenarkan secara moral. Pembenaran ini pun harus menggambarkan kesimpulan yang diperoleh melalui prinsip-prinsip logika (Peikoff, 1991), bukan emosi belaka.
Prinsip prinsip dan nilai-nilai moral adalah hal yang objektif yang konseptualisasinya dibangun melalui pengalaman nyata dan persepsi inderawi terhadap obyek dan kondisi aktual (Becker , 1998). Itu sebabnya integritas membutuhkan lebih dari sekadar loyalitas kepada prinsip dan nilai moral yang dipercaya benar oleh individu ataupun disetujui oleh kelompok masyarakat atau organisasi tertentu. Integritas bukan sekadar tentang bertindak sesuai dengan nilai yang diterima oleh individu, masyarakat, ataupun organisasi (Mayer , Davis, & Schoorman, 1995; Trevinyo-Rodríguez, 2007), tetapi merujuk pada prinsip moral universal yang dapat dibenarkan secara rasional, di mana kriteria-kriteria pembenaran itu objektif. Opini subjektif, baik itu di taraf individu, masyarakat, ataupun organisasi, tidak dapat menjadi dasar bagi integritas moral.
Integritas moral dalam pengambilan keputusan etisk etika diterapkan pada konsep pengambilan keputusan etis, integritas dapat diartikan sebagai bentuk konsistensi antara hasil keputusan yang diambil dan tindakan aktual yang dilakukan. Pengambilan keputusan etis, yaitu keputusan yang berkaitan dengan nilai etis (moral), dilakukan melalui empat tahapan: sensitivitas etis, penalaran etis, motivasi etis, dan implementasi etis (Rest, 1986). Di dalam model yang disebutnya sebagai Model Empat Komponen (Four Component Model), Rest menggambarkan bagaimana proses internal pengambilan keputusan etis melatarbelakangi tindakan seseorang.
Tahapan pertama, sensitivitas moral, mengandaikan kebutuhan akan kesadaran moral atau kemampuan mengidentifikasi isu-isu moral. Di dalamnya terjadi proses interpretasi di mana seorang individu mengenali bahwa suatu masalah moral ada di dalam situasi yang dihadapi atau bahwa suatu prinsip moral menjadi relevan di dalamnya. Tahap ini dinilai kritis karena kemampuan mengidentifikasi signifikansi moral dari suatu isu berperan besar dalam mengawali sebuah proses pengambilan keputusan etis dan juga perilaku etis.
Hasil identifikasi isu-isu moral menghasilkan suatu gambaran dilema moral beserta alternatif tindakan yang dapat dilakukan. Pengambilan keputusan tindakan mana yang sebaiknya diambil bukanlah sebuah proses pemilihan secara acak. Pemutusan harus berdasarkan penalaran yang tepat yang memperhatikan prinsip-prinsip moral yang relevan di dalam proses penalaran etis. Alternatif tindakan yang telah diambil pun membutuhkan ketetapan hati maupun dorongan untuk melakukannya. Itulah yang disebut motivasi etis yang kemudian diikuti oleh implementasi etis di mana alternatif tindakan yang dipilih dilakukan secara nyata. Integritas terjadi ketika implementasi tindakan yang dilakukan konsisten dengan prinsip moral yang digunakan sebagai pegangan dalam membuat keputusan di tahap penalaran etis yang di dalamnya kesadaran moral berperan secara dominan. Itu sebabnya konsistensi terhadap prinsip moral disebut sebagai integritas moral.
Kohlberg (1995) menekankan pentingnya perhatian kepada kesadaran moral ini untuk memahami bagaimana keputusan etis diambil dan juga alasan etis mengapa seseorang mengambil keputusan tertentu (Rest, 1986; Trevino, 1992). Satu hal yang mendasar dari konsep ini adalah bahwa kesadaran moral tidak ditentukan oleh perasaan, melainkan oleh kemampuan intelektual, yaitu kemampuan untuk memahami dan mengerti sesuatu secara rasional (Magnis-Suseno, 2000).
Dalam menjelaskan teori ini, Kohlberg tidak berbicara tentang prinsip moral tertentu, tidak bicara tentang apa yang benar dan tidak secara moral, melainkan meneliti kompetensi untuk memberikan penalaran etis. Ia tidak mengatakan apakah tindakan seorang nenek mencuri susu demi cucunya yang kelaparan, misalnya, adalah etis atau tidak etis, melainkan apakah tindakan mencuri susu itu disetujui ataupun tidak disetujui dibenarkan secara memadai (Arbuthnot & Faust, 1980).Di dalam tipologi yang dikembangkan oleh Kohlberg, ada tiga tingkat dasar penalaran berbeda terhadap isu moral, yang masing-masing dinamai tingkat pre-conventional, conventional, dan postconventional. Tiap tingkatan tersebut masing-masing memiliki dua tahap yang menjadikan seluruhnya ada enam tahap penalaran. Semua tingkat dan tahap ini dapat dipandang sebagai pemikiran moral sendiri, pandangan yang berbeda mengenai dunia sosio-moral (Crain, 1985).
Pada tingkat pre-conventional, yang meliputi tahap 1 dan 2, seorang individu memahami pengertian benar dan salah berdasarkan konsekuensi yang diterimanya, misalnya hukuman, hadiah, atau pemenuhan kebutuhan pribadi. Secara ringkas, tahap pertama digambarkan sebagai orientasi terhadap kepatuhan dan hukuman. Pada tahap pertama, seseorang mengasosiasikan penilaian baik dan buruk dengan konsekuensi fisik dari suatu tindakan. Ketika seseorang menerima hukuman atasl. tindakannya, maka ia akan memahami bahwa tindakannya itu salah. Dibandingkan dengan modus penalaran tahap pertama, tahap kedua merepresentasikan penalaran yang menilai apa yang baik itu dalam rangka pemenuhan kepentingan pribadi seseorang. Orang mulai dapat memahami bahwa orang lain memiliki kebutuhan individualnya sendiri dan bahwa organisasi sosial dibangun atas dasar pertukaran seimbang antara kepentingan satu orang dengan kepentingan orang lain. Baik penalaran pada tahap pertama dan kedua ini bersifat egosentrik.
Pada tingkat konvensional, yaitu tahap 3 dan tahap 4, individu memahami benar atau tidak secara moral sebagai kesesuaian keputusan yang diambil dengan harapan orang lain atas dirinya, baik dalam konteks relasi interpersonal (tahap 3) dan pelaksanaan peran individu di dalam sistem sosial yang lebih luas dan abstrak (tahap 4). Pada tahap ketiga, keputusan yang baik adalah keputusan yang mengakomodasi harapan orang lain, melakukan apa yang ”baik” di mata orang lain, apa yang disetujui oleh orang lain, berperilaku sesuai dengan permintaan seseorang, atau bersikap loyal dan dapat dipercaya kepada kelompok dekat. Perspektif sosial individu pada tahap ini menunjukkan kesadaran akan harapan dan kesepakatan mutual, perasaan atau cara pandang orang lain, dan bahwa kepentingan kelompok sosial lebih besar daripada kepentingan diri sendiri.
Pada tahap keempat, apa yang benar adalah melaksanakan kewajiban yang ada di dalam kehidupan bermasyarakat dengan tujuan mempertahankan kelompok sosial sebagai satu kesatuan. Mereka yang ada di tahap keempat ini memahami bahwa tanpa ada standar hukum yang sama, kehidupan manusia akan kacau balau, di mana ia sudah dapat menempatkan dirinya sebagai bagian dari masyarakat yang lebih luas. Hukum dipandang sebagai jaminan atas interaksi interpersonal, kenyamanan, dan hak-hak personal. Pada tingkat penalaran moral post-conventional, yaitu tahap 5 dan 6, individu bergerak ke pemahaman moral yang lebih dalam lagi dan lebih universal. Pada tahap kelima, seseorang menyadari bahwa ada aturan relatif dan ada hak dan nilai yang non-relatif (absolut). Aturan relatif ada dalam konteks kelompok masyarakat tertentu dan harus dijunjung karena merupakan dasar kontrak sosial.
Di sisi lain, hak dan nilai non-relatif, seperti misalnya hak untuk hidup dan hak atas kebebasan, harus dijunjung terlepas dari opini publik atau kehendak mayoritas. Pada tahap keenam, seseorang mulai beralih ke prinsip moral universal yang diikuti bukan karena disetujui secara komunal di dalam kontrak sosial, tetapi karena berasal dari kesamaan hak asasi manusia dan rasa hormat terhadap kemanusiaan dan martabat individu. Faktor kritis dalam menentukan apa yang secara etis benar adalah prinsip moral yang universal, konsisten, komprehensif, dan logis yang ada di dalam hati nurani yang bukan berdasar pada rasa takut dan rasa bersalah. Hal ini terkait dengan penilaian otonom di mana seseorang harus menentukan apakah suatu tindakan sejalan dengan apa yang dipercaya berlaku secara universal.
Dalam menjelaskan etis tidaknya suatu tindakan, teori perkembangan moral kognitif melihat bahwa tindakan yang sama yang dilakukan dapat dilatari oleh kesadaran moral yang berbeda. Misalnya perilaku tidak mencontek yang dilakukan oleh mahasiswa dapat disebabkan oleh rasa takut akan konsekuensi nilai nol, teman-teman yang tidak mencontek, kesadaran akan tanggung jawab sebagai mahasiswa, penghargaan hak intelektual, dll (Wisesa, 2009). Artinya, analisa perilaku individu di dalam pengambilan keputusan etis tidak dapat dilakukan hanya dengan melihat perilaku yang ditunjukkan, tetapi juga prinsip moral yang dipegangnya yang melatarbelakangi perilakunya tersebut. Hal ini juga penting untuk dilakukan untuk menilai integritas moral individu.
Integritas Nasional
Selain dihubung-hubungkan dengan masalah kepemimpinan, istilah integritas juga sering dihubung-hubungkan dengan kata nasional. Nah, sekarang yang menjadi pertanyaan adalah apa itu integritas nasional?
Dalam artian secara sederhana, integritas nasional adalah integritas yang digunakan dalam menjalankan sebuah negara. Sedangkan dalam arti luas, integritas nasional dapat diartikan sebagai hasrad atau pun kesadaran yang muncul secara berkelanjutan dari individu atau orang yang tinggal, menertap dan suatu negara untuk dapat mengembangkan negara yang ditinggalinya tersebut agar bisa menjadi lebih baik dan lebih maju lagi.
Di negara Indonesia sendiri, integritas nasional pun pernah terjadi secara bersamaan atau serempak yaitu pada 28 Oktober 1928, tepatnya pada saat hari Sumpah Pemuda pada waktu itu. Pada saat itu, seluruh pemuda di Indonesia bersatu dan bekerja sama untuk melawan penjajah untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Itulah pemaparan dari Ayoksinau.com tentang Pengertian Integritas, semoga apa yang Ayoksinau.com paparkan di atas dapat bermanfaat bagi Anda. Kunjungi terus Ayoksinau.com untuk menambah wawasan anda. Terimakasih.