Pengertian Munasabah
Munasabah dalam pengertian bahasa berarti cocok, pantas, hubungan, pertalian, sebab, dan mendekati. Sedangkan dalam khazanah ilmu al-Qur’an, istilah munasabah digunakan untuk mengungkap segi-segi hubungan antar satu ayat dengan ayat yang lain dan satu surat dengan surat yang lain secara rasional intuitif (‘aqli), inderawi (hissi), imaginatif (khayali), atau ketergantungan mentalistik (at-talazum al-zihni), maupun keterkaitan eksternal (at-talazum al-kharji).
Kata munasabah secara etimologi (bahasa), menurut As-Suyuthi bearti Al- musyakalah (keserupaan) dan al-muqarabah (kedekatan). Az-Zarkaysi memberikan contoh sebagai berikut: fulan yunabsi fulan, berarti si A mempunyai hubungan dekat dengan si B dan menyerupainya. Istilah munasabah digunakan dalam ‘illat dalam bab qiyas dan berarti Al-wasf Al-muqarib li Al-hukum (gambaran yang berkaitan dengan hukum). Kata munasabah di ungkapkan juga dengan kata rabth (pertalian).
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Pengertian Zakat Perusahaan Beserta Menurut Hukum Islam
Munasabah Menurut Para Ahli
- Menurut Az-Zarkasi:
Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami. Tatkala dihadapkan kepada akal, pasti akal itu akan menerimanya. - Menurut Manna’ Al-Qaththan:
Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan di dalam satu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat, atau antar surat, (di dalam al-Qur’an). - Menurut Al-‘Arabi:
Munasabah adalah keterkaitan ayat-ayat al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan satu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung. - Menurut Al-Biqa’i:
Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan dibalik susunan atau urutan bagian-bagian al-Qur’an, baik ayat dengan ayat, atau surat dengan surat.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Pengertian dan Tujuan Akhlak kepada Allah dan Makhluk
Sejarah Kemunculan Ilmu Munasabah
Susunan turunnya ayat-ayat al-Qur’an berdasarkan sejarah turunnya kepada Nabi Saw. berbeda dengan susunan ayat-ayat al-Qur’an dalam mushaf Utsmani. Ayat yang mula-mula turun berdasarkan sejarah adalah lima ayat awal al-‘Alaq, sedangkan berdasarkan susunan surat mushaf Utsmani, ayat-ayat yang pertama adalah ayat-ayat yang termaktub dalam surat al-Fatihah.
Sedangkan ayat yang terahir turun adalah ayat 281 surat al-Baqarah, namun yang tercatat dalam mushaf justru surat an-Nas. Peralihan susunan dari tertib nuzul kepada tertib mushaf adalah suatu rahasia yang harus diperhatikan. Proses peralihan itu menekan waktu 22 tahun lebih (Rafi’y Musthafa Shadiq; 1973, 34).
Dan usaha ini berakhir pada kajian munasabah. Oleh karena itu, sejarah munasabah tidak dapat dilepaskan dari sejarah awal turunnya ayat pertama.
Wacana tentang munasabah telah menjadi perbincangan ahli tafsir semenjak masa awal. Pada abad ke-4 H. muncul Abu Bakr al-Nisaburi (w. 309 H.) yang mengintodrusir pengungkapan keserasian antar satu ayat dengan ayat yang lain satu surat dengan surat yang lain berdasarkan urutan dalam mushaf. Sarjana berikutnya, Fakhr al-Din al-Razi (w. 606 H.) dalam karya tafsinya al-Tafsir al-Kabir, Abu ja’far ibn Zubayr (w. 708 H.) dan penulis ensiklopedi munasabah dalam tafsir, Ibrahim al-Biqa’i (w. 885 H.)
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Rukun Iman Yang Wajib Diketahui Umat Islam
Fungsi Munasabah
Ilmu munasabah al-Qur’an mempunyai beberapa fungsi (faedah), yaitu:
- Dapat membantu memahami adanya takwil ayat.
- Dapat mengetahui makna-makna al-Qur’an, I’jaznya, menetapkan penjelasan, keteraturan kalamnya dan keindahan uslubnya.
- Dapat mengetahui kedudukan suatu ayat yang terkadang sebagai ta’kid ayat sebelumnya, atau sebagai tafsiran, atau selingan.
- Dapat mengetahui kondisi dan situasi yang merupakan latar belakang (background)nya suatu peristiwa.
- Dapat mengetahui ‘alaqah antara khitam suatu surat dengan fatihah surat berikutnya, atau fatihah dengan khitam satu surat.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Pengertian Aqiqah Dan Qurban Dalam Islam | Ayoksinau.com
Macam-Macam Munasabah
Didalam Al-Quran sekurang-kurangnya terdapat delapan macam munasabah, diantaranya yaitu sebagai berikut:
a. Munsabah antar surat dengan surat sebelumnya
As-Suyuthi menyimpulkan bahwa munasbah antar satu surat dengan surat sebelumnya berfungsi untuk menerangkan atau menyempurnakan ungkapan pada surat sebelurnnya. Sebagai contoh:
- Dalam surat Al-Fatihah ayat 1 ada ungkapan alhamdulilah. ungkapan ini berkaitan dengan surat Al-Baqarah ayat 152 serta 186. Artinya: “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mendustakan (nikmat)-Ku”. (QS. Al-Baqarah: 152). Artinya: “Dan bila hamba-hamba-Ku mempertanyakan kepadamu berkaitan dengan aku, Maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia meinta kepada-Ku, Maka hendaklah mereka itu melengkapi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, supaya mereka selalu berada dalam ijazah (kebenaran)”. (QS. Al-Baqarah: 186).
- Perumpamaan “rabbal-alamin” terdapat di surat Al- Fatihah berkaitan dengan surat Al-Baqarah ayat 21-22. Artinya: “Wahai manusia, sembahlah Allah swt. yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang terdahulu, supaya kamu bertakwa”. (Al-Baqarah: 21). Artinya: “Dialah yang membuat bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menjatuhkan air (hujan) dari langit, lalu dia membentuk dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Oleh sebab itu janganlah kamu membuat sekutu-sekutu bagi Allah, sedangkan kamu Mengerti (tahu)”. (QS. Al-Baqarah: 22).
- Di dalam QS. Al-Baqarah ditegaskan perkataan “dzalik Al-kitab la raiba fih”. Ungkapan ini berkaitan dengan surat Ali ‘lmran ayat 3. Artinya: “Dia mengirimkan/menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepadamu dengan Sebenarnya; menyempurnakan Kitab yang Telah diturunkan sebelumnya dan menurunkan Taurat dan Injil”. (QS. Ali ‘lmran: 3).
Hubungannya dengan munasabah macam ini, ada uraian yang baik yang dikemukakan Nasr Abu Zaid. Beliau menjelaskan bahwa hubungan khusus surat Al-Fatihah dengan surat Al-Baqarah ialah hubungan stilistika kebahasaan. Sementara hubungan-hubungan umum lebih berkaitan dengan isi juga kandungan. Hubungan stilistika-kebahasaan ini tercermin dalam kenyataan ternyata surat Al-Fatihah diakhiri menggunakan doa: lhdina Ashshirath Al-mustaqim, shirath Al-ladzina an’amta alaihim ghair Al-maghdhubi’alaihim (…) (Aamiin). Doa ini mendapatkan jawabannya dalam awalan surat Al-Baqarah Alif, Lam, Mim. Dzalika Al-Kitabu la raiba fihi hudan li Al-muttaqin. Maka dari itu, kita dapat menyimpulkan bahwa teks tersebut berkesinambungan: “Seolah-olah ketika mereka memohon hidayah (petunjuk) ke jalan yang diridhoi (lurus), dikatakanlah kepada mereka: Petunjuk yang lurus yang Engkau minta itu ialah Al-Kitabin”.
Apabila kaitan antara surat Al-Fatihah dan suratAl-Baqarah yaitu kaitan stilistika, hubungan antara surat Al-Baqarah dan surat Ali’ lmran lebih sama dengan hubungan antara “dalil” dengan “keraguan-keraguan akan dalil”. Maksudnya, surat Al-Baqarah adalah surat yang mengajukan dalil mengenai hukum, sebab surat ini memuat kaidah-kaidah agama, selama Surat Ali lmran “sebagai jawaban atas keragu-raguan para musuh”. Kaitan antara surat Al-Baqarah dan surat Ali ‘lmran ialah hubungan yang didasarkan pada sebuah ta’wil (interpretasi) yang membatasi kandungan Surat Ali’lmran pada ayat ketujuh saja.
b. Munasabah antar nama surat dan tujuan turunnya
Setiap surat memiliki tema pembicaraan yang menonjol, dan hal itu tercermin pada namanya masing-masing, seperti surat Al-Baqarah, surat yusuf, surat An-Naml dan surat Al-Jinn. Lihatlah firman Allah QS. Al-Baqarah (67-71) Artinya: “Dan (ingatlah), sementara Musa Berkata kepada kaumnya: “Sesungguhnya Allah menyerukan kepada kamu menyembelih seekor sapi betina.” mereka berkata: “Apakah kamu hendak menciptakan kami buah cacian? Musa menjawab: “Aku bernaung kepada Allah supaya bukan menjadi salah seorang dari orang-orang yang jahil”. Mereka berkata: “mintakanlah kepada Allah swt. buat kami, agar dia mengartikan kepada Kami, sapi betina apakah itu.” Musa menjawab: “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu ialah sapi betina yang bukan tua dan bukan muda, pertengahan antara itu, Maka lakukanlah apa yang diistruksikan kepadamu”. Mereka berkata: “Mohonkanlah kepada Tuhanmu untuk kami supaya dia menjelaskan kepada kami apa warnanya”. Musa berkata: “Sesungguhnya Allah bersabda bahwa sapi betina itu yaitu sapi betina yang kuning, yang kuning tua warnanya, sedang menyenangkan orang-orang yang memandangnya. “Mereka berkata: “Mintakanlah kepada Allah swt. untuk kami supaya dia menjelaskan kepada kami bagaimana kehakikian sapi betina itu, Karena Sesungguhnya sapi itu (masih) samar bagi kami dan Sesungguhnya kami insya Allah akan memperoleh petunjuk (untuk mendapatkan sapi itu).” Musa berkata: “Sesungguhnya Allah berfirman bahwa sapi betina itu adalah sapi betina yang belum pernah digunakan untuk membajak tanah dan tidak digunakan untuk mengairi tanaman, tidak bercacat, tidak terdapat belangnya.” mereka berkata: “Sekarang barulah kamu menjelaskan kehakikian sapi betina yang sesungguhnya”. Setelah itu mereka menyembelihnya dan hampir saja mereka tidak mengerjakan perintah itu”. (QS. Al-Baqarah: 67-71).
Cerita tentang lembu betina dalam surat Al-Baqarah di atas adalah inti pembicaraannya, yaitu tentang kekuasaan Tuhan membangkitkan orang mati. Dengan perkataan lain, tujuan dari surat ini adalah untuk menyangkut kekuasaan Tuhan dan keimanan kepada hari kemudian.
c. Munasabah antar bagian suatu ayat
Munasabah antara bagian surat selalu membentuk pola munasabah Al-tadhadat (perlawanan) seperti terlihat dalam surat Al-Hadid ayat 4. Yang artinya: “Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, Lalu dia bersemayam di atas arsy dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan dia bersama kamu di mana saja kamu tinggal. Dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hadid: 4). Antara kala “yaliju” (masuk) dan kata “yakhruju” (keluar), serta kata “yanzilu” (turun) dengan kata “ya’ruju” (naik) terdapat hubungan pertawanan. Contoh lainnya yaitu kata “Al-‘adzab’ dan Ar-rahmah” dan janji baik setelah ancaman. Munasabah seperti ini dapat ditemukan dalam surat Al-Baqarah, An-Nisa dan Surat Al-Mai’dah.
d. Munasabah antarayat yang letaknya berdampingan
Munasabah antar ayat yang letaknya sejajar sering tampak dengan jelas, tapi sering pula tidak jelas. Munasabah antar ayat yang tampak dengan jelas umumnya rnemakai pola ta’kid (penguat), tafsir (penjelas), i’tiradh (bantahan), serta tasydid (penegasan). Munasabah antar ayat yang memakai pola ta’kid yaitu apabila salah satu ayat atau bagian ayat memperkuat arti ayat atau bagian ayat yang terletak di sampingnya. Contoh firman Allah, yang Artinya: Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam (QS. Al-Fatihah: 1-2). Munasabah diantara ayat memakai pola tafsir, apabila satu ayat atau bagian ayat tertentu ditafsirkan artinya oleh ayat atau bagian ayat di sampingnya. Misalnya firman Allah, Artinya: Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; pedoman bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang melaksanakan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang kami karuniakan kepada mereka. (Qs. Al-Baqarah: 2-3). Arti dari “muttaqin” pada ayat kedua ditafsirkan oleh ayat ketiga. Dengan demiklan, orang yang bertakwa adalah orang yang mengimani hal-halyang abstrak (ghaib), mengerjakan shalat, dan selerusnya. Munasabah antara ayat memakai pola i’tiradh apabila terletak satu kalimat atau lebih tidak ada tempatnya dalam i’rab (struktur kalimat), baik di pertengahan kalimat atau di antara dua kalimat yang berhubungan artinya.
e. Munasabah antar-suatu kelompok ayat dan kelompok ayat di sampingnya
Dalam QS. Al-Baqarah ayat 1 sampai ayat 20, contohnya Allah memulai penjelasan-Nya tentang kebenaran dan fungsi Al-Quran bagi orang-orang yang beriman. Dalam kelompok ayat-ayat berikutnya membicarakan tiga kelompok manusia dan sifat-sifat mereka berbeda-beda, yaitu mukmin, kafir, dan munafik.
f. Munasabah antar fashilah (pemisah) dan isi ayat
Munasabah ini mengandung tujuan-tujuan tertentu. Di antaranya ialah untuk menguatkan (tamkin) makna yang terkandung dalam suatu ayat. Contohnya, dalam QS. Al-Ahzab ayat 25 diungkapkan sebagai berikut. Artinya: “Dan Allah menghalau orang-orang yang kafir itu yang keadaan mereka penuh kejengkelan, (lagi) mereka tidak memperoleh keuntungan apapun. dan Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan. dan ialah Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa”. (QS. Al-Ahzab: 25). Dalam ayat ini, Allah menghindarkan orang-orang mukmin dari peperangan, tidak karena lemah, melainkan karenaAllah Maha kuat dan Maha perkasa. Jadi, adanya fashilah diantara kedua penggalan ayat di atas dimaksudkan agar pemahaman terhadap ayat tersebut menjadi lurus serta sempurna. Tujuan lain dari fashilah, yaitu memberi penjelasan tambahan, yang meskipun tanpa fashilah sebenamya, makna ayat sudah jelas.
g. Munasabah antar awal surat dengan akhir surat yang sama
Tentang munasabah ini, As-suyuthi telah mengarang sebuah buku yang berjudul Marasid Al-Mathali fi Tanasub Al-Maqati ‘wa Al-Mathali’. Contoh munasabah ini terdapat dalam QS. Al-Qashas yang bermula dengan menjelaskan perjuangan Nabi Musa dalam berhadapan dengan kekejaman Firaun. Atas perintah dan pertolonganAllah, Nabi Musa berhasil keluar dari Mesir dengan banyak tekanan. Di akhir surat Allah menyampaikan kabar gembira kepada Nabi Muhammad yang menghadapi tekanan dari kaumnya dan janji Allah atas kemenangannya. Kemudian, jika di awal surat dijelaskan bahwa Nabi Musa tidak akan menolong orang kafir. Munasabah di sini terletak dari sisi kesamaan kondisi yang dihadapi oleh kedua Nabi tersebut.
h. Munasbah antar-penutup suatu surat dengan awal surat berikutnya
Apabila diperhatikan pada setiap pembukaan surat, akan dijumpai munasabah dengan akhir surat sebelumnya, sekalipun tidak mudah untuk mencarinya. Misalnya, pada permulaan surat Al-Hadid diawali dengan tasbih. Artinya: Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. Al-Hadid Ayat 1). Ayat tersebut bermunasabah dengan akhir surat sebelumnya. Al-Waqiah yang memerintahkan bertasbih. Artinya: Maka bertasbihlah dengan (menyebut) Nama Rabbmu yang Maha besar (QS. AL-Waqiah Ayat 96). Selanjutnya, permulaan Surat Al-Baqarah. Artinya: Alif laam miin. Kitab (Al Quran) Ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (QS. Al-Baqarah ayat 1-2). Ayat tersebut bermunasabah dengan akhir Surat Al-Fatihah. Artinya: (yaitu) jalan orang-orang yang Telah Engkau beri nikmat kepada mereka, bukan (jalan) mereka yang dimurkai serta bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. Al-Fatihah ayat 7).
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Pemahan Serta Makna Dari Macam-Macam Sujud Di Dalam Ilmu Fiqh | Ayoksinau.com
Cara Mengetahui Munasabah
Dalam meneliti keserasian susunan ayat dan surat (munasabah) dalam al-Qur’an diperlukan ketelitian dan pemikiran yang mendalam. Menurut As-Suyuthi, ada beberapa langkah yang perlu diperhatikan untuk menemukan munasabah dalam al-Qur’an, yaitu:
- Harus diperhatikan tujuan pembahasan suatu surat yang menjadi objek pencarian.
- Memerhatikan uraian ayat-ayat yang sesuai dengan tujuan yang dibahas dalam surat.
- Menentukan tingkatan uraian-uraian itu, apakah ada hubungannya ataukah tidak.
- Dalam mengambil kesimpulan, hendaknya memerhatikan ungkapan-ungkapan bahasanya dengan benar dan tidak berlebihan.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Kisah Nabi Adam Lengkap Menurut Islam
Bentuk-Bentuk Munasabah
Dalam al-Qur’an terdapat beberapa bentuk munasabah, baik munasabah antar surat maupun munasabah antar ayat. Bentuk-bentuk munasabah tersebut yaitu:
Munasabah Antar Surat
Munasabah antar surat maksudnya adalah hubungan makna inti dari suatu surat dengan surat sesudahnya atau sebelumnya. Hubungan makna ini mencakup beberapa macam, yaitu:
Munasabah Antar Nama Surat.
Biasanya, antara nama surat-surat dengan nama surat sesudahnya atau nama surat sebelumnya, terdapat hubungan arti. Contohnya, urutan surat Muhammad atau al-Qital (47), al-Fath (48), dan al-Hujurat (49). Al-Qital artinya perang, al-Fath artinya kemenangan, dan al-Hujurat artinya kamar-kamar dalam hal ini, pembagian tugas. Biasanya sesudah perang terjadi kemenangan, dan setelah kemenangan disusul oleh tugas pembangunan yang memerlukan pembagian tugas.
Hubungan Antara Awal Surat Dengan Akhir Surat.
Artinya, isi awal surat berkaitan dengan apa yang disebutkan dalam akhir surat itu. Sebagai contoh, surat an-Nisaa’ diawali dengan masalah penciptaan manusia dengan pasangannya, yang selanjutnya menimbulkan perkawinan, yang berujung pada keturunan. Pada akhir surat ini membicarakan masalah kalalah, yang dihubungkan masalah warisan. Bagaimanapun perkawainan dan keturunan berkaitan erat dengan masalah warisan.
Hubungan Antara Akhir Surat Dengan Awal Surat Berikutnya.
Artinya, bagian akhir surat berhubungan dengan bagian awal surat berikutnya. Sebagai contoh, akhiran surat al-maidah yang artinya: “kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi dan apa yang ada didalamnya, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu” Akhiran surat tersebut berkaitan dengan awalan surat berikutnya, yaitu surat al-An’am, yang artinya: “segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi…”
Hubungan Kandungan Surat Secara Umum Dengan Surat Berikutnya.
Contohnya adalah persesuaian antara isi surat al-Baqarah dan Isi surat Ali Imran. Kedua-duanya diawali dengan alif lam mim. Dalam surt al-Baqarah disebutkan tentang Nabi Adam as., yang langsung diciptakan Tuhan, sedangkan dalam surat Ali imran, disebutkan tentang kehadiran Nabi Isa as., keduanya diciptakan Allah menyimpang dari kebiasaan. Dalam surat al-Baqarah, sifat dan perbuatan orang-orang yahudi dibentangkan secara luas disertai hujjah untuk mematahkan hujjah yang membela kesesatan mereka, sedangkan dalam surat Ali Imran, dibentangkan hal-hal yang serupa yang berhubungan dengan orang Nasrani.
Munasabah Antar Ayat
Adapun hubungan antar ayat ialah hubungan makna antara ayat-ayat yang berdekatan atau antara bagian-bagian dalam satu ayat. Dilihat dari segi letaknya, hubungan makna antar ayat terbagi kedalam dua hal, yaitu:
Hubungan Makna Suatu Ayat Dengan Ayat Sebelumnya Atau Sesudahnya.
Hubungan seperti ini, misalnya, antara ??? ????? ??????? ??????? dengan
????? ???? ??? ???????? ayat pertama berisi pengakuan bahwa Allah itu ada dan perbuatan yang dilakukan seseorang berhasil atau tidaknya tergantung kepadanya. Menurut ikrar tersebut, Allah itu adalah Tuhan yang Rahman dan Rahim dan bersifat Pengasih Penyayang. Bukti kasih sayangnya adalah banyak nikmat yang telah dirasakan oleh setiap orang, sekalipun orang itu orang kafir, durhaka, bahkan orang yang tidak pernah memohon kepada-Nya. Demikian pula nikmat yang dirasakan oleh orang-orang yang beriman, jumlahnya tidak terhitung. Dengan karunia yang sangat banyak ini, maka pantaslah dia dipuja dengan ????? ???? ??? ????????
Hubungan Antara Makna Bagian Suatu Ayat Dengan Bagian Lain Dengan Ayat Tersebut.
Sebagai contoh, hubungan antara ????? ???? dengan ??? ????????. Pujian ini hanya Milik Allah Yang Rahman dan Rahim. Dengan bagian kata berikutnya, yaitu ??? ???????? ternyata objek yang diberi kasih sayang itu tidak terbatas kepada manusia saja, tetapi Ia sebagai pemelihara alam semesta, baik dari jenis manusia, binatang ataupun tumbuh-tumbuhan dan sebagainya.