Sejarah Kraton Yogyakarta
Kraton Yogyakarta didirikan Setelah Perjanjian Giyanti pada tahun 1756 oleh Pangeran Mangkubumi (Hamengkubu Buwono I) sebagai pusat kerajaan Ngayogyakarta Hadiningrat. Pada mulanya, lokasi Kraton sekarang ini merupakan daerah rawa yang bernama Umbul Pacethokan, yang kemudian dibangun menjadi sebuah pesanggrahan Ayodya.
Sebagaimana bangunan kraton pada kerajaan-kerajaan Jawa umumnya, Kraton Yogyakarta dibangun menghadap ke utara. Bangunan terluar berupa benteng kraton yang dibuat dari batubata merah dengan ketebalan sekitar 4 meter. Benteng ini melingkari kraton sepanjang 4 kilometer persegi, dan membentuk segi empat dengan beberapa gerbang utama (regol). Susunan bangunan Kraton Yogyakarta berturut-turut dari utara ke selatan : Alun-alun utara (termasuk Siti Hinggil dan Bangsal Pagelaran), Kemandungan Lor (utara) atau Keben, Sri Manganti, Kraton sebagai bangunan induk, Kemagangan, Kemandungan Kidul (selatan), dan terakhir pada Alun-alun Selatan. Pada jaman kerajaan, Alun-alun Utara digunakan untuk mengumpulkan prajurit dan rakyat, disamping digunakan untuk upacara-upacara adat seperti Grebeg, Sekaten, dan lain-lain. Keberadaan Alun-alun ini melambangkan menunggalnya raja dengan rakyat dalam membangun kerajaan. Di tengah alun-alun terdapat dua pohon beringin yang melambangkan bahwa Sultan adalah pelindung dan pengayom rakyatnya.
Pada bangunan Pagelaran dan Siti Hinggil terdapat adegan pisowanan (persidangan) para pejabat kerajaan dengan Sultan. Para pejabat kerajaan duduk di bangunan Pagelaran, sedangkan tempat duduk Sultan terletak pada bangsal Manguntur Tangkir yang terletak di bangunan Siti Hinggil. Di belakang bangsal Manguntur Tangkir, terdapat bangsal Witana, yaitu tempat untuk menyimpan lambang-lambang kebesaran kerajaan yang digunakan dalam upacara.
Bangunan kedua dari kraton bernama Keben atau Kemandungan lor. Bangunan utamanya bernama bangsal Ponconiti, yaitu bangsal pengadilan khususnya yang berkenaan dengan lima perkara besar yang diancam hukuman mati. Sekarang ini, pada bangunan ini terdapat kantor Tepas Pariwisata Kraton. Pada bagian ini terdapat bangsal Trajumas di sebelah kiri dan bangsal Sri Manganti di sebelah kanan. Pada bangsal Trajumas terdapat berbagai peralatan upacara tradisional, sedangkan pada bangsal Sri Manganti terdapat berbagai acara kesenian seperti tari-tarian klasik, karawitan, dan wayang kulit. Bangsal Sri Manganti dahulu merupakan tempat Sultan menanti dan menerima tamu-tamu agung. Sri Manganti sendiri berarti Raja menanti. Setelah bangsal Sri Manganti, terdapat regol Donopratopo, yaitu sebuah gerbang yang menghubungkan halaman Sri Manganti dengan halaman inti kraton. Gerbang ini dijaga oleh patung Dwarapala dan Gupala.Keduanya diberi nama, masing-masing, Cingkarabala dan Balaupata yang melambangkan kepribadian mulia manusia untuk selalu menggemakan kebaikkan dan melarang perbuatan yang jahat.
Pada bangunan ini kraton, terdapat beberapa bangsal. Bangsal Purnaretna, yaitu tempat Sultan bekerja, letaknya bersebelahan dengan bangunan bertingkat yang diberi nama Panti Sumbaga. Bangunan ini merupakan perpustakaan pribadi Sultan. Pada bagian lainnya terdapat Gedong Kuning, yaitu istana tempat tinggal Sultan, yang letaknya bersebelahan dengan Traju Tresna, yaitu tempat Sultan menanyakan kesanggupan putra-putrinya yang akan menikah. Di bagian lain dari inti kraton terdapat bangsal Kencono, yaitu tempat upacara penobatan Sultan dan para pangeran. Di samping itu, bangsal ini kadang kala digunakan untuk menerima tamu-tamu agung yang berhubungan dengan Kasultanan. Di sebelah barat bangsal Kencono, sekarang ini terdapat museum Sri Sultan HB XI. Di balik bangsal Kencono, terdapat bangsal Prabayeksa, yaitu tempat penyimpanan pusaka-pusaka kraton. Bangsal ini menjadi bagian paling sakral dari seluruh lingkungan bangunan kraton. Bagian lainnya adalah bangsal Manis, yaitu tempat perjamuan atau pesta, dan Gedong Patehan, yaitu tempat untuk menyiapkan minuman. Kompleks Kraton Yogyakarta setiap hari dibuka untuk masyarakat umum mulai dari pukul 07.30-13.00, kecuali pada hari Jumat sampai dengan pukul 12.00 WIB.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Kisah dan Sejarah Kerajaan Islam di Sumatera
Bagian Alun Kraton Yogyakarta
Alun-Alun Utara Yogyakarta
Dalam setiap kraton di Jawa, khususnya keraton-keraton setelah masuknya agama Islam, dapat dikatakan bahwa semuanya memiliki bagian/tempat yang disebut alun-alun. Alun-alun adalah bagian dari kraton yang merupakan tempat terbuka dan luas yang terletak di depan maupun di belakang keraton. Alun-alun, sebagai tempat yang luas dan terbuka digunakan untuk berbagai keperluan seperti sodoran, rampogan macan, latihan ketangkasan dan ketahanan mental bagi prajurit, upacara-upacara kebesaran, pepe ‘berjemur’ untuk menghadap raja, dan sebagainya.
Alun-alun Lor, nama bagian dari kesatuan kompleks Keraton Yogyakarta yang berupa tanah yang lebar/lapang dan terletak di sebelah utara keraton. Alun-alun Lor berfungsi untuk tempat latihan ketangkasan dan ketahanan mental para prajurit. Di samping itu, Alun-alun Lor juga berfungsi sebagai tempat untuk menyelenggarakan acara sekatenan, tempat berkumpulnya rakyat untuk menghadap sultan, dan tempat penyelenggaraan berbagai upacara kenegaraan. Sampai sekarang pun Alun-alun Lor masih berfungsi demikian di samping difungsikan juga untuk aneka macam keperluan seperti olah raga, pameran, muktamar maupun MTQ.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Biografi dan Sejarah Ki Hajar Dewantara
Alun-Alun Selatan Yogyakarta
Alun-Alun Selatan (Kidul) merupakan wilayah di belakang kompleks bangunan Kraton Yogyakarta yang bisa dijangkau dengan berjalan ke arah selatan dari Sentra Makanan Khas Gudeg Wijilan. Disimbolkan dengan gajah yang memiliki watak tenang, Alun-Alun Kidul merupakan penyeimbang Alun-Alun Utara yang memiliki watak ribut. Karenanya, Alun-Alun Kidul dianggap tempat palereman (istirahat) para Dewa. Dan jelas kini sudah menjadi tempat ngleremke ati (menenangkan hati) bagi banyak orang.
Di alun-alun selatan mengggambarkan manusia dewasa dan sudah wani (berani) meminang gadis karena sudah akilbaligh yang dilambangkan dengan pohon kweni (mangifera odoranta) dan pohon pakel. Masa muda yang mempunyai jangkauan jauh ke depan divisualisasikan dengan pagar ringin kurung alun-alun selatan yang seperti busur panah. Masa depan dan jangkauan para kaum muda dilambangkan panah yang dilepas dari busurnya.Sampai di Sitihinggil selatan pohon yang ditanam pelem cempora (mangifera indica) yang berbunga putih dan pohon soka (ixora coccinea) yang berbunga merah yang menggambarkan bercampurnya benih laki-laki (dilambangkan warna putih) dan benih perempuan (dilambangkan warna merah).
Di halaman Kamandhungan menggambarkan benih di dalam kandungan dengan vegetasi pohon pelem (mangifera indica) yang bermakna gelem (kemauan bersama), pohon jambu dersono (eugenia malaccensis) yang bermakna kaderesan sihing sasama dan pohon kepel (stelechocarpus burahol) yang bermakna kempel, bersatunya benih karena kemauan bersama didasari saling mengasihi.
Penamaan dan Makna Tata Letak
Karaton, Keraton atau Kraton, berasal dari kata ka-ratu-an, yang berarti tempat tinggal ratu/raja. Sedang arti lebih luas, diuraikan secara sederhana, bahwa seluruh struktur dan bangunan wilayah Kraton mengandung arti berkaitan dengan pandangan hidup Jawa yang essensial, yakni Sangkan Paraning Dumadi (dari mana asalnya manusia dan kemana akhirnya manusia setelah mati).
Garis besarnya, wilayah Kraton memanjang 5 km ke arah selatan hingga Krapyak dan 2 km ke utara berakhir di Tugu. Pada garis ini terdapat garis linier dualisme terbalik, sehingga bisa dibaca secara simbolik filosofis. Dari arah selatan ke utara, sebagai lahirnya manusia dari tempat tinggi ke alam fana, dan sebaliknya sebagai proses kembalinya manusia ke sisi Dumadi (Tuhan dalam pandangan Jawa). Sedangkan Kraton sebagai jasmani dengan raja sebagai lambang jiwa sejati yang hadir ke dalam badan jasmani.
Kraton menuju Tugu juga diartikan sebagai jalan hidup yang penuh godaan. Pasar Beringharjo melambangkan godaan wanita. Sedangkan godaan akan kekuasaan dilambangkan lewat Gedung Kepatihan. Keduanya terletak di sebelah kanan. Jalan lurus itu sendiri sebagai lambing manusia yang dekat dengan Pencipta (Sankan Paraning Dumadi). Secara sederhana, Tugu perlambangan Lingga (laki-laki) dan Krapyak sebagai Yoni (perempuan). Dan Kraton sebagai jasmani yang berasal dari keduanya.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Sejarah Gadah Mada dan Asal-Usulnya
Makna Tata Ruang Kraton Yogyakarta
Setelah diguncang gempa tahun 1867, Kraton mengalami kerusakan berat. Pada masa HB VII tahun 1889, bangunan tersebut dipugar. Meski tata letaknya masih dipertahankan, namun bentuk bangunan diubah seperti yang terlihat sekarang. Tugu dan Bangsal Manguntur Tangkil atau Bangsal Kencana (tempat singgasana raja), terletak dalam garis lurus, ini mengandung arti, ketika Sultan duduk di singgasananya dan memandang ke arah Tugu, maka beliau akan selalu mengingat rakyatnya (manunggaling kawula gusti).
Tatanan Kraton sama seperti Kraton Dinasti Mataram pada umumnya. Bangsal Kencana yang menjadi tempat raja memerintah, menyatu dengan Bangsal Prabayeksa sebagai tempat menyimpan senjata-senjata pusaka Kraton (di ruangan ini terdapat lampu minyak Kyai Wiji, yang selalu dijaga abdi dalem agar tidak padam), berfungsi sebagai pusat. Bangsal tersebut dilingkupi oleh pelataran Kedhaton, sehingga untuk mencapai pusat, harus melewati halaman yang berlapis-lapis menyerupai rangkaian bewa (ombak) di atas lautan. Tatanan spasial Kraton ini sangat mirip dengan konstelasi gunung dan dataran Jambu Dwipa, yang dipandang sebagai benua pusatnya jagad raya.
Dari utara ke selatan area Kraton berturut-turut terdapat Alun-Alun Utara, Siti Hinggil Utara, Kemandhungan Utara, Srimanganti, Kedhaton, Kemagangan, Kemandhungan Selatan, Siti Hinggil Selatan dan Alun-Alun Selatan (pelataran yang terlindung dinding tinggi). Sedangkan pintu yang harus dilalui untuk sampai ke masing-masing tempat berjumlah sembilan, disebut Regol. Dari utara terdapat gerbang, pangurukan, tarub agung, brajanala, srimanganti, kemagangan, gadhung mlati, kemandhungan dan gading.
Brongtodiningrat memandang penting bilangan ini, sebagai bilangan tertinggi yang menggambarkan kesempurnaan. Hal ini terkait dengan sembilan lubang dalam diri manusia yang lazim disebut babahan hawa sanga.Kesakralan setiap bangunan Kraton, diindikasikan dari frekuensi serta intensitas kegiatan Sultan pada tempat tersebut. Alun-Alun, Pagelaran, dan Siti Hinggil, pada tempat ini Sultan hanya hadir tiga kali dalam setahun, yakni pada saat Pisowan Ageng Grebeg Maulud, Sawal dan Besar. Serta kesempatan yang sangat insidental yang sangat khusus misal pada saat penobatan Sultan dan Penobatan Putra Mahkota atau Pangeran Adipati Anom.
Kraton Yogyakarta memanglah bangunan tua, pernah rusak dan dipugar. Dilihat sekilas seperti bangunan Kraton umumnya. Tetapi bila kita mendalami Kraton Yogyakarta, yang merupakan contoh terbesar dan terindah dengan makna simbolis, sebuah filosofi kehidupan, hakikat seorang manusia, bagaimana alam bekerja dan manusia menjalani hidupnya dan berbagai perlambangan eksistensi kehidupan terpendam di dalamnya.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Sejarah Candi Borobudur dan Asal Usul Berdirinya
Prajurit Kraton Yogyakarta
Prajurit Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat
Prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dibentuk pada masa pemerintahan Hamengkubuwono I sekitar abad 17. Tepatnya pada tahun 1755 Masehi. Prajurit yang terdiri atas pasukan-pasukan infanteri dan kavaleri tersebut sudah mempergunakan senjata-senjata api yang berupa bedil dan meriam. Selama kurang lebih setengah abad pasukan Ngayogyakarta terkenal cukup kuat, ini terbukti ketika Hamengkubuwono II mengadakan perlawanan bersenjata menghadapi serbuan dari pasukan Inggris dibawah pimpinan Jenderal Gillespie pada bulan Juni 1812. Di dalam Babad menceritakan bahwa perlawanan dari pihak Hamengkubuwono II hebat sekali. Namun semenjak masa Pemerintahan Hamengkubuwono III kompeni Inggris membubarkan angkatan perang Kasultanan Yogykarta. Dalam perjanjian 2 Oktober 1813 yang ditandatangani oleh Sultan Hamengkubuwono III dan Raffles, dituliskan bahwa Kesultanan Yogyakarta tidak dibenarkan memiliki angkatan bersenjata yang kuat. Dibawah pengawasan Pemerintahan Kompeni Inggris, keraton hanya boleh memiliki kesatuan-kesatuan bersenjata yang lemah dengan pembatasan jumlah personil. Sehingga tidak memungkinkan lagi untuk melakukan gerakan militer. Maka sejak itu fungsi kesatuan-kesatuan bersenjata sebatas sebagai pengawal sultan dan penjaga keraton.
Ketika Pemerintahan Kolonial Belanda kembali berkuasa pasukan-pasukan bersenjata yang sudah lemah tersebut makin dikurangi sehingga tidak mempunyai arti secara militer. Menurut catatan yang ada, semasa pemerintahan Hamengkubuwono VII sampai dengan masa pemerintahan Hamengkubuwono VIII yaitu antara tahun 1877 sampai dengan 1939 ada 13 kesatuan prajurit kraton yang meliputi: Kesatuan Sumoatmojo, Ketanggung, Patangpuluh, Wirobrojo, Jogokaryo, Nyutro, Dhaeng, Jager, Prawirotomo, Mantrijero, Langenastro, Surokarso dan Bugis.
Prajurit Kraton Yogyakarta
Pada tahun 1942 semua kesatuan bersenjata keraton Yogyakarta dibubarkan oleh pemerintahan Jepang. Tetapi mulai tahun 1970 kegiatan para prajurit keraton dihidupkan kembali. Dari ke tiga belas prajurit yang pernah ada baru sepuluh kesatuan atau bergada yang direkonstruksi dengan beberapa perubahan, baik dari pakaiannya, senjatanya maupun jumlah personil. (lihat foto-foto yang ditampilkan). Kesepuluh kesatuan prajurit tersebut yaitu: Prajurit Wirobrojo, Prajurit Dhaeng, Prajurit Patangpuluh, Prajurit Jogokaryo, Prajurit Mantrijero, Prajurit Prawirotomo, Prajurit Ketanggung, Prajurit Nyutro, Prajurit Surokarso dan Prajurit Bugis. Dewasa ini, kesepuluh kesatuan prajurit tersebut masih dapat dilihat oleh masyarakat umum paling tidak se tahun tiga kali, yaitu pada upacara Garebeg Mulud, Garebeg Besar dan Garebeg Syawal, di alun-alun utara Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Pusaka kerajaan Kraton
Pusaka di Keraton Yogyakarta disebut sebagai Kagungan Dalem (harfiah=milik Raja) yang dianggap memiliki kekuatan magis atau peninggalan keramat yang diwarisi dari generasi-generasi awal. Kekuatan dan kekeramatan dari pusaka memiliki hubungan dengan asal usulnya, keadaan masa lalu dari pemilik sebelumnya atau dari perannya dalam kejadian bersejarah[56].
Dalam lingkungan Keraton, pusaka dapat dalam bentuk baik benda nyata ataupun pesan yang terdapat dalam sesuatu yang lebih abstrak seperti penampilan. Baik nilai sejarah spiritual dan fungsional berdekatan dengan Sultan dan kebijaksanaanya. Pusaka merupakan sebuah aspek budaya Keraton Yogyakarta. Sebagai sebuah lembaga yang terdiri dari Sultan dan keluarganya, termasuk keluarga besarnya yang disebut dengan trah, dan pejabat/pegawai kerajaan/istana, Keraton memiliki peraturan mengenai hak resmi atas orang yang akan mewarisi benda pusaka. Pusaka memiliki kedudukan yang kuat dan orang luar selain di atas tidak dapat dengan mudah mewarisinya. Keberadaaannya sebanding dengan Keraton itu sendiri[56].
Benda-benda pusaka keraton memiliki nama tertentu. Sebagai contoh adalah Kyai Permili, sebuah kereta kuda yang digunakan untuk mengangkut abdi-Dalem Manggung yang membawa Regalia. Selain nama pusaka tersebut mempunyai gelar dan kedudukan tertentu, tergantung jauh atau dekatnya hubungan dengan Sultan. Seluruh pusaka yang menjadi inventaris Sultan (Sultan’s property) dalam jabatannya diberi gelar Kyai (K) jika bersifat maskulin atau Nyai (Ny) jika bersifat feminin, misalnya K Danumaya sebuah guci tembikar, yang konon berasal dari Palembang, yang berada di Pemakaman Raja-raja di Imogiri.
Apabila pusaka tersebut sedang/pernah digunakan oleh Sultan, maupun dipinjamkan kepada orang tertentu karena jabatannya diberi tambahan gelar Kangjeng sehingga selengkapnya bergelar Kangjeng Kyai (KK) atau Kangjeng Nyai (KNy). Sebagai contoh adalah Kangjeng Nyai Jimat, sebuah kereta kuda yang dipergunakan oleh Sultan HB I – Sultan HB IV sebagai kendaraan resmi (sebanding dengan mobil dengan plat nomor polisi Indonesia 1 sebagai kendaran resmi Presiden Indonesia) dan merupakan kereta terkeramat dari Keraton Yogyakarta.[67]
Beberapa pusaka yang menempati kedudukan tertinggi dan dipercaya memiliki kekuatan paling magis mendapat tambahan gelar Ageng sehingga selengkapnya bergelar Kangjeng Kyai Ageng (KKA). Salah satu pusaka tersebut adalah KKA Pleret, sebuah tombak yang konon pernah digunakan oleh Panembahan Senopati untuk membunuh Arya Penangsang. Tombak ini kini menjadi pusaka terkeramat di keraton Yogyakarta dan mendapat kehormatan setara dengan kehormatan Sultan sendiri. Penghormatan terhadap KKA Pleret ini telah dimulai sejak Panembahan Senopati.
Wujud benda pusaka di Keraton Yogyakarta bermacam-macam. Benda-benda tersebut dapat dikelompokkan menjadi: (1) Senjata tajam; (2) Bendera dan Panji kebesaran; (3) Perlengkapan Kebesaran; (4) Alat-alat musik; (5) Alat-alat transportasi; (6) Manuskrip, babad (kronik) berbagai karya tulis lain; (7) Perlengkapan sehari-hari; dan (8) Lain-lain. Pusaka dalam bentuk senjata tajam dapat berupa tombak (KK Gadatapan dan KK Gadawedana, pendamping KKA Pleret); keris (KKA Kopek); Wedhung, (KK Pengarab-arab, untuk eksekusi mati narapidana dengan pemenggalan kepala) ataupun pedang (KK Mangunoneng, pedang yang digunakan untuk memenggal seorang pemberontak, Tumenggung Mangunoneng).
Pusaka dalam bentuk bendera/panji misalnya KK Pujo dan KK Puji. Pusaka yang digunakan sebagai perlengkapan kebesaran terdiri dari satu set regalia kerajaan yang disebut KK Upocoro dan satu set lambang kebesaran Sultan yang disebut KK Ampilan serta perlengkapan baju kebesaran (mahkota, sumping [hiasan telinga], baju kebesaran, akik [cicin dengan mata dari batu mulia] dan lain sebagainya). Pusaka dalam kelompok alat-alat musik dapat berupa set gamelan (misal KK Kancil Belik) maupun alat musik tersendiri (misal cymbal KK Udan Arum dan KK Tundhung Mungsuh).
Pusaka dalam golongan alat-alat transportasi dapat berupa kereta kuda maupun yang lain (misal tandu yang pernah digunakan oleh Sultan HB I, KK Tandu Lawak, dan pelana kuda yang disebut KK Cekathak). Benda pusaka dalam kelompok Manuskrip antara lain adalah KK Suryaraja (buku matahari raja-raja) yang dikarang oleh Sultan HB II semasa dia masih menjadi putra mahkota, KK Alquran yang berupa manuskrip kitab suci Alquran, dan KK Bharatayudha yang berupa ceritera wayang.
Pusaka dalam bentuk perlengkapan sehari-hari misalnya Ny Mrico, sebuah periuk yang hanya digunakan untuk menanak nasi saat upacara Garebeg Mulud tahun Dal (terjadi hanya delapan tahun sekali). Pusaka kelompok lain-lain misalnya wayang kulit tokoh tertentu (misalnya KK Jayaningrum [tokoh Arjuna], KK Jimat [tokoh Yudhistira], dan KK Wahyu Kusumo [tokoh Batara Guru]) maupun tembikar (misalnya K Danumurti sebuah enceh/kong (guci tembikar), yang konon berasal dari Aceh, yang juga terdapat di pemakaman Imogiri) dan lain sebagainya