Biografi Pangeran Diponegoro
Pangeran Diponegoro adalah putra sulung dari Sultan Hamengkubuwana III, raja ketiga di Kesultanan Yogyakarta. Lahir pada tanggal 11 November 1785 di Yogyakarta dengan nama Mustahar dari seorang selir bernama R.A. Mangkarawati, yaitu seorang garwa ampeyan (istri selir) yang berasal dari Pacitan. Semasa kecilnya, Pangeran Diponegoro bernama Bendara Raden Mas Antawirya. Pangeran Diponegoro wafat di Makassar, Sulawesi Selatan, 8 Januari 1855 pada Usia 69 tahun. Makamnya berada di Makassar.
Menyadari kedudukannya sebagai putra seorang selir, Diponegoro menolak keinginan ayahnya, Sultan Hamengkubuwana III, untuk mengangkatnya menjadi raja. Ia menolak mengingat ibunya bukanlah permaisuri. Diponegoro mempunyai 3 orang istri, yaitu: Bendara Raden Ayu Antawirya, Raden Ayu Ratnaningsih, & Raden Ayu Ratnaningrum.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari HB I Ratu Ageng Tegalrejo daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Hamengkubuwana V (1822) dimana Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danurejo bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujui Diponegoro.
Diponegoro setidaknya menikah dengan 9 wanita dalam hidupnya, yaitu:
- B.R.A. Retna Madubrangta puteri kedua Kyai Gedhe Dhadhapan;
- R.A. Supadmi yang kemudian diberi nama R.A. Retnakusuma, putri Raden Tumenggung Natawijaya III, Bupati Panolan, Jipang;
- R.A. Retnadewati seorang putri Kyai di wilayah Selatan Jogjakarta;
- R.Ay. Citrawati, puteri Raden Tumenggung Rangga Parwirasentika dengan salah satu isteri selir;
- R.A. Maduretno, putri Raden Rangga Prawiradirjo III dengan Ratu Maduretna (putri HB II), jadi R.A Maduretna saudara seayah dengan Sentot Prawiradirdja, tetapi lain ibu;
- R.Ay. Ratnaningsih putri Raden Tumenggung Sumaprawira, bupati Jipang Kepadhangan;
- R.A. Retnakumala putri Kyahi Guru Kasongan;
- R.Ay. Ratnaningrum putri Pangeran Penengah atau Dipawiyana II.
- Syarifah Fathimah Wajo putri Datuk Husain (Wanita dari Wajo, Makassar), makamnya ada di Makassar. Syarifah Fathimah ini nasab lengkapnya adalah Syarifah Fathimah Wajo binti Datuk Husain bin Datuk Ahmad bin Datuk Abdullah bin Datuk Thahir bin Datuk Thayyib bin Datuk Ibrahim bin Datuk Qasim bin Datuk Muhammad bin Datuk Nakhoda Ali bin Husain Jamaluddin Asghar bin Husain Jamaluddin Akbar.
Diponegoro lebih tertarik pada kehidupan keagamaan dan merakyat sehingga ia lebih suka tinggal di Tegalrejo tempat tinggal eyang buyut putrinya, permaisuri dari Sultan Hamengkubuwana I, Gusti Kangjeng Ratu Tegalrejo, daripada di keraton. Pemberontakannya terhadap keraton dimulai sejak kepemimpinan Sultan Hamengkubuwana V (1822). Ketika itu, Diponegoro menjadi salah satu anggota perwalian yang mendampingi Hamengkubuwana V yang baru berusia 3 tahun, sedangkan pemerintahan sehari-hari dipegang oleh Patih Danureja bersama Residen Belanda. Cara perwalian seperti itu tidak disetujuinya.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Sejarah dan Biografi Ir. Soekarno
Sejarah Pangeran Diponegoro
Masa Remaja Pangeran Diponegoro
Diponegoro adalah putra sulung Sultan Jogya, Sultan HB III atau Sultan Raja dari seorang selir. Dengan demikian dia adalah cucu Sultan HB II (Sultan Sepuh) dan cicit Sultan HB I (Sultan Swargi). Ibunya disebut-sebut bernama R.A. Mangkarawati yang menurut Peter Carey asal-usulnya masih kabur. Dikatakan putri itu berasal dari Majasta di daerah Pajang, dekat makam keramat Tembayat. Dalam naskah lain Carey mengatakan dia adalah keturunan Ki Ageng Prampelan dari Pajang.
Sagimun MD (1986). memberitakan bahwa dia berasal dari Pacitan, putri seorang Bupati yang konon masih berdarah Madura. R. Tanojo dalam Sadjarah Pangeran Dipanagara Darah Madura mengatakan bahwa darah Madura yang mengalir pada Diponegoro bukan berasal dari pihak ibu tetapi justeru dari pihak ayah. Menurut silsilah, nenek Diponegoro, yakni Ratu Kedaton (permaisuri HB II) adalah generasi ke enam keturunan Pangeran Cakraningrat dari Tunjung Madura (Tanojo).
Nama asli Diponegoro adalah Raden Mas Mustahar. Dia lahir di keraton Jogyakarta pada hari Jum’at Wage, tanggal 7 Muharram Tahun Be atau 11 Nopember 1785 Masehi sebagai putera sulung Sultan HB III (Carey, 1991). Pada tahun 1805 Sultan HB II mengganti namanya menjadi Raden Mas Ontowiryo. Adapun nama Diponegoro dan gelar pangeran baru disandangnya sejak tahun 1812 ketika ayahnya naik takhta.
Nama Diponegoro mengingatkan orang pada seorang tokoh dalam Babad Tanah Jawi. yakni Raden Mas Sungkawa, putra Sunan Paku Buwono I (1704-1719) dari Surakarta, yang juga bergelar Pangeran Diponegoro. Pada tahun 1718 dia ditugaskan untuk menumpas pemberontakan di Jawa Timur bersama Tumenggung Jayapuspita. Setelah berhasil menguasai daerah di sebelah timur Gunung Lawu sampai Blambangan, dia lalu mengangkat dirinya menjadi Panembahan Herucokro Senopati ing Ngalogo Ngabdur-Rakhman Sahidin Panatagama. Di masa Sunan Amangkurat I (1719-1727) istananya pindah dari Madiun ke Padonan, dekat Sukowati. Ketika ditinggalkan saudara-saudaranya, yakni Pangeran Purbaya dan Pangeran Blitar, istananya pindah ke Semanggi, sampai akhirnya pada tahun 1723 dia ditangkap Belanda dan dibuang ke Tanjung Harapan (Olthof, 1941;Yamin, 1952).
Walaupun Pangeran Diponegoro putra raja, namun dia dibesarkan di luar tembok kraton, di lingkungan pedesaan Tegalrejo, dibawah asuhan nenek buyutnya, Kanjeng Ratu Ageng (janda mendiang Sultan HB I). Dalam naskah babad dikisahkan : beberapa hari setelah Diponegoro lahir, Sultan HB I minta pada isterinya untuk melihat cicitnya tersebut. Sambil mengamati bayi di pangkuannya Sultan HB I berkata : bahwa kelak anak tersebut akan menjadi tokoh yang jauh lebih besar dari dirinya, dan akan menimbulkan kerusakan besar pada Belanda Selanjutnya Sultan minta agar isterinya merawat sendiri bayi tersebut (Carey, 1991).
Sepeninggal suaminya, Ratu Ageng membawa cicitnya ke kediamannya di Tegalrejo, sebuah desa terpencil beberapa kilometer di arah barat daya istana Jogyakarta. Di sanalah Diponegoro dibesarkan dan dididik sebagai layaknya bangsawan Jawa, sekaligus seorang santri yang taat beragama.Banyak penulis mengatakan bahwa kehidupan sehari-hari Diponegoro banyak mencontoh dan mengikuti sifat serta perilaku Nabi. Hidupnya amat bersahaja, baik dalam caraberpakaian, makan maupun pergaulannya dengan orang kecil. Dikisahkan dia sering menyamar sebagai orang kebanyakan, mengenakan ikat kepala dan kain wulung dan berbaju hitam. Dia sering bergabung dengan santri di pondok-pondok pesantren di pedesaan dengan nama samaran Ngabdurakhim. Di saat samarannya hampir terbongkar, dia segera pindah ke pondok pesantren yang lain. Selain itu dia juga suka mengembara, masuk ke luar hutan dan tinggal di gua-gua untuk bertapa (Chalwat).
Cara hidup demikian ini nampaknya menjadi pola umum yang berlaku di kalangan pemuda di masa itu. Dikarenakan sampai dengan masa pemerintahan Sultan HB II masyarakat Jogyakarta masih diliputi oleh eforia kemenangan perang Mangukubumi.maka upaya memperdalam ilmu kanuragan, ketrampilan bermain senjata, menunggang kuda, juga landasan laku batin, seperti tirakat, puasa, bertapa di gua keramat mendapat tempat khusus di kalangan anak muda. Sesuai dengan situasi dan kondisi jamannya, Diponegoro muda tentunya juga tidak terlepas dari kebiasaan yang berlaku saat itu.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Biografi dan Sejarah Ki Hajar Dewantara
Sebab terjadinya Perang Diponegoro
Melihat situasi Jawa yang penuh dengan penderitaan,dengan rakyat dibebani dengan kewajiban membayar pajak. Serta harus memenuhi kebutuhan orang Belanda dan para bangsawan yang menjadi kaki tangan belanda. Hal tersebut membuat Pangeran Diponegoro menjadi tidak tahan melihat situasi tersebut. Selain itu ,Belanda pada masa itu ikut campur dalam urusan pemerintah istana,seperti penobatan Sultan Yogyakarta. Setelah Sultan Hamengkubuwono IV wafat,Belanda mengangkat putra mahkota,yaitu Jarot sebagai sultan Yogyakarta, Padahal usianya pada saat itu baru tiga tahun. Sultan hanya dijadikan sebagi simbol pemerintahan saja. Selanjutnya dalam pemerintahan istana Yogyakarta diatur oleh Residen Smissert.
Pada bulam Mei 1825, sebuah jalan dibangun didekat Tegalrejo pihak belanda yang membuat jalan dari Yogyakarta ke Magelang melalui Tegalrejo tanpa persetujuan dari pangeran diponegoro. Pangeran diponegoro dan masyarakat merasa tersinggung dan marah karena Tegal rejo adalah tempat makam dari leluhur Pangeran Diponegoro (Junaidi ,2007:85). Selain itu pembutan jalan tersebut pembangunan tersebut akan menggusur banyak lahan. Hal inilah yang menjadi titik tolak terjadinya perang Diponegoro . Untuk menyelesaikan masalah tanah itu, sebenarnya Residen Belanda, A.H.Smisaert mengundang Pangeran Diponegoro untuk menemuinya. Namun undangan itu ditolak mentah-mentah olehnya.
Pemerintah Hindia Belanda kemudian melakukan pematokan di daerah yang dibuat jalan. Pematokan sepihak tersebut membuat Pangeran Diponegoro geram, lalu memerintahkan orang-orangnya untuk mencabuti patok-patok itu. Melihat kelakuan Pangeran Diponegoro, Belanda mempunyai alasan untuk menangkap Diponegoro dan melakukan tindakan. Tentara meriam pun didatangkan ke kediaman Diponegoro di Tegalrejo. Pada tanggal 20 Juli 1825 perang Tegalrejo dikepung oleh serdadu Belanda.
Akibat serangan meriam, Pangeran Diponegoro besrta keluarganya terpaksa mengungsi karena ia belum mempersiapkan perang. Mereka pergi menyelamatkan diri menuju ke barat hingga ke Desa Dekso di Kabupaten Kulonprogo, lalu meneruskan kearah selatan sampai ke Goa Selarong. Goa yang terletak di Dusun Kentolan Lor, Guwosari Pajangan Bantul ini, kemudian dijadikan sebagai basis pasukan.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Sejarah Gadah Mada dan Asal-Usulnya
Jalanya Perang Diponegoro
Dalam persembunyianya Pangeran Diponegoro menghimpun kekuatan. Ia mendapat banyak dukungan dari beberapa bangsawan Yogyakarta dan Jawa Tengah yang kecewa dengan Sultan maupun Belanda . Lima belas dari dua puluh sembilan pangeran bergabung dengan Diponegoro, demikian pula empat puluh satu dari delapan puluh bupati. Salah satu bangsawan pengikut Diponegoro adalah Sentot Prawirodirjo seorang panglima muda yang tangguh di medan tempur. Komunitas agama bergabung dengan Diponegoro , yang diantarana adalah Kiai Mojo yang menjadi pimpinan spiritual pemberontakan tersebut. Rakyat pedesaan juga bertempur di pihak Diponegoro dan memebantu pasukan-pasukannya apabila mereka tidak sanggup bertempur lagi.
Awalnya pertempuran dilakukan terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infantri, kavaleri, dan artileri oleh Belanda. Pihak Diponegoropun menanggapi dan berlangsunglah pertempuran sengit di kedua belah pihak. Medan pertempuran terjadi di puluhan kota dan di desa di seluruh Jawa. Jalur-jalur logistik juga dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Belanda menyiapkan puluhan kilang mesiu yang dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Mesiu dan peluru terus diproduksi saat peperangan berlangsung. Selain itu Belanda juga mengarahkan mata-mata utuk mencari informasi guna menyusunn setrategi perang.
Selanjutnya Diponegoro beserta pengikutnya mengunakan strategi gerilya, yakni dengan cara berpencar, berpindah tempat lalu menyerang selagi musuh lengah. Setrategi ini sangat merepotkan tentara Belanda. Belum lagi Pangeran Diponegoro mendapat dukungan rakyat. Awlanya sendiri peperangan banyak terjadi di daerah barat kraton Yogyakarta seperti Kulonprogo, Bagelen, dan Lowano (Perbatasan Purworejo-Magelang). Perlawanan lalu berlanjut kedaerah lain: Gunung kidul, Madiun, Magetan, Kediri, dan sekitar Semarang.
Serangan-serangan besar dari pendukung Diponegoro biasanya dilakukan pada bulan-bulan penghujan karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan Belanda terhambat. Selain itu, penyakit malaria dan disentri turut melemahkan moral dan fisik pasukan ,Belanda kewalahan menhadapi perlawanan Diponegoro. Diponegoro sempat mengalami kekalahan besar pada bulan Oktober 1826 ketika dipikul mundur di Surakarta . Meskipun demikan , pada akhir tahun 1826 pasukan-pasukan pemerintah Belanda nampak tidak dapat maju lagi, dan Diponegoro masih menguasai berbagai wilayah pedalaman Jawa tengah.
Berbagai langkah –langkah sudah di coba pihak Belanda diantaranya, ada bulan Agustus 1826 pihak Belanda memulangkan sultan Hamengkubuwono II yang sudah berusia lanjut dari tempat pengasingan Ambon dan mendudukanya lagi diatas tahta Yogyakarta (1826-1828). Tetapi langkah ini sama sekali gagal mendorong rakyat Jawa supaya tidak lagi mendukung pemberontakan
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Sejarah Candi Prambanan Dan Asal Usulnya
Masa Penangkapan dan Perlawanan
Perlawanan Pangeran Diponegoro terhadap Belanda menjadi dasar dan latar belakang dari perjuangan rakyat Indonesia untuk memperjuangkan kemerdekaan, persatuan dan martabat bangsa.Penangkapanan Diponegoro yang diakibatkan oleh pengkhiatan (walaupun sebelumnya dijanjikan keselamatan atas dirinya), merupakan momen bersejarah bagi bangsa Jawa/Indonesia.Tidak mengherankan apabila ideologi politik dan sejarahnya menjadi sumber atas dasar dan martabat dari bangsa Indonesia. Berikut ada beberapa peristiwa penangkapan dan pengasingan Pangeran Diponegoro dalam masa perjuangannya :
- 16 Februari 1830 Pangeran Diponegoro dan Kolonel Cleerens bertemu di Remo Kamal, Bagelen (sekarang masuk wilayah Purworejo).Cleerens mengusulkan agar Kanjeng Pangeran dan pengikutnya berdiam dulu di Menoreh sambil menunggu kedatangan Letnan Gubernur Jenderal Markus de Kock dari Batavia.
- 28 Maret 1830 Diponegoro menemui Jenderal de Kock di Magelang.De Kock memaksa mengadakan perundingan dan mendesak Diponegoro agar menghentikan perang.Permintaan itu ditolak Diponegoro.Tetapi Belanda telah menyiapkan penyergapan dengan teliti. Hari itu juga Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Ungaran, kemudian dibawa ke Gedung Karesidenan Semarang, dan langsung ke Batavia menggunakan kapal Pollux pada 5 April.
- 11 April 1830 sampai di Batavia dan ditawan di Stadhuis (sekarang gedung Museum Fatahillah).Sambil menunggu keputusan penyelesaian dari Gubernur Jenderal Van den Bosch.
- 30 April 1830 keputusan pun keluar. Pangeran Diponegoro, Raden Ayu Retnaningsih, Tumenggung Diposono dan istri, serta para pengikut lainnya seperti Mertoleksono, Banteng Wereng, dan Nyai Sotaruno akan dibuang ke Manado.
- 3 Mei 1830 Diponegoro dan rombongan diberangkatkan dengan kapal Pollux ke Manado dan ditawan di benteng Amsterdam.
- 1834 dipindahkan ke benteng Rotterdam di Makassar, Sulawesi Selatan.
- 8 Januari 1855 Diponegoro wafat dan dimakamkan di kampung Jawa Makassar.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Sejarah Singkat Perumusan Teks Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia
Masa Pengasingan dan Pembuangan
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit.Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap.Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda.Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa.Perang Jawa ini banyak memakan korban dipihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa.Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Yogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian orang Kraton Yogyakarta Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan HB IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus Silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.
Akhir Perang Diponegoro
Pada tahun 1827 pemerintah Hindia Belanda menerapkan setrategi jitu untuk mematahkan perlawanan gerilya ini. Menghadapi perlawanan tersebut,Belanda menerapkan strategi Benteng Stelsel (sistem Benteng) ats perinta Jendral De Kock.Dengan siasat ini, Tentara Belanda mendirikan benteng di setiap daerah-daerah yang dikuasainya dan diantara benteng-benteng itu dibuat jalan raya. Akibatnya ,pasukan Diponegoro mengalami kesulitan karena hubungan antar pasukan dan rakyat menjadi sulit. Rakyat dihasut dan di adu domba dengan politik Devide et empera. Kekeutan pasukan Diponegoro pun semakin lemah karena banyak pemimpin yang gugur,tertangkap, atau menyerah.
Pembelotan dan jumlah tawanan dari pihak pemberontak semakin meningkat. Pada bulan April 1829 Kiai Mojo berhasil ditangkap. Pada bulan september 1829 paman Diponegoro,pangeran mangubumi dan panglima utamanya sentot, keduanya menyerah. Selanjutnya Sentot dimanfaatkan oleh Belanda untuk menjalankan tugas untuk melawan kaum padri di sumatera,sedangkan Mangkubumi diangkat sebagai salah satu dari pangeran-pangeran yang paling senior dari Yogyakarta.
Akhirnya,pada bulan Maret 1830 Diponegoro bersedia untuk berunding di Magelang. Namun setibanya disana dia di tangkap. Pihak Belanda mengasingkanya ke Manado dan kemudian ke Makasar, Dimana dia wafat pada tahun 1855. Pemberontakan akhirnya berakhir, di pihak Belanda perang ini telah menelan setidaknya 8000 serdadu Belanda dan di pihak pribumi sekitar 2000.000 tewas sehingga penduduk Yogyakarta habis hampir separuhnya.
Baca Juga Artikel Yang Mungkin Berhubungan : Sejarah dan Biografi R.A Kartini
Perang Diponegoro (1825-1830)
Perang Diponegoro berawal ketika pihak Belanda memasang patok di tanah milik Diponegoro di desa Tegalrejo. Saat itu, ia memang sudah muak dengan kelakuan Belanda yang tidak menghargai adat istiadat setempat dan sangat mengeksploitasi rakyat dengan pembebanan pajak.
Sikap Diponegoro yang menentang Belanda secara terbuka, mendapat simpati dan dukungan rakyat. Atas saran GPH Mangkubumi, pamannya, Diponegoro menyingkir dari Tegalrejo, dan membuat markas di sebuah gua yang bernama Gua Selarong. Saat itu, Diponegoro menyatakan bahwa perlawanannya adalah perang sabil, perlawanan menghadapi kaum kafir. Semangat “perang sabil” yang dikobarkan Diponegoro membawa pengaruh luas hingga ke wilayah Pacitan dan Kedu. Salah seorang tokoh agama di Surakarta, Kyai Maja, ikut bergabung dengan pasukan Diponegoro di Gua Selarong. Kyai Mojo yang lahir di Desa Mojo di wilayah Pajang, dekat Kota Surakarta tertarik berjuang bersama Pangeran Diponegoro karena Pangeran Diponegoro ingin mendirikan kerajaan yang berlandaskan Islam. Kyai Mojo dikenal sebagai ulama besar yang sebenarnya masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Diponegoro. Ibu Kyai Mojo, R.A. Mursilah, adalah saudara perempuan dari Sultan Hamengkubuwana III.[2] Akan tetapi, Kyai Mojo yang aslinya bernama Muslim Mochamad Khalifah semenjak lahir tidak mencicipi kemewahan gaya hidup keluarga istana. Jalinan persaudaraan Diponegoro dan Kyai Mojo kian erat setelah Kyai Mojo menikah dengan janda Pangeran Mangkubumi yang merupakan paman dari Diponegoro. Tak heran, Diponegoro memanggil Kyai Mojo dengan sebutan “paman” meski relasi keduanya adalah saudara sepupu.[3]
Diponegoro, c.1830.
Selain Kyai Mojo, perjuangan Diponegoro juga didukung oleh Sunan Pakubuwono VI dan Raden Tumenggung Prawiradigdaya Bupati Gagatan. Meski demikian, pengaruh dukungan Kyai Mojo terhadap perjuangan Diponegoro begitu kuat karena ia memiliki banyak pengikut dari berbagai lapisan masyarakat. Kyai Mojo yang dikenal sebagai ulama penegak ajaran Islam ini bercita-cita, tanah Jawa dipimpin oleh pemimpin yang mendasarkan hukumnya pada syariat Islam. Semangat memerangi Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh sebab itu, kekuatan Dipenogoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh agama yang berafiliasi dengan Kyai Mojo.[4] Menurut Peter Carey (2016) dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 disebutkan bahwa sebanyak 112 kyai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.
Selama perang ini kerugian pihak Belanda tidak kurang dari 15.000 tentara dan 20 juta gulden. Berbagai cara terus diupayakan Belanda untuk menangkap Diponegoro. Bahkan sayembara pun dipergunakan. Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro, hingga akhirnya ditangkap pada 1830.
Perang Diponegoro merupakan perang terbuka dengan pengerahan pasukan-pasukan infanteri, kavaleri, dan artileri—yang sejak perang Napoleon menjadi senjata andalan dalam pertempuran frontal—di kedua belah pihak berlangsung dengan sengit. Front pertempuran terjadi di puluhan kota dan desa di seluruh Jawa. Pertempuran berlangsung sedemikian sengitnya sehingga bila suatu wilayah dapat dikuasai pasukan Belanda pada siang hari, maka malam harinya wilayah itu sudah direbut kembali oleh pasukan pribumi; begitu pula sebaliknya. Jalur-jalur logistik dibangun dari satu wilayah ke wilayah lain untuk menyokong keperluan perang. Berpuluh kilang mesiu dibangun di hutan-hutan dan dasar jurang. Produksi mesiu dan peluru berlangsung terus sementara peperangan berkencamuk. Para telik sandi dan kurir bekerja keras mencari dan menyampaikan informasi yang diperlukan untuk menyusun stategi perang. Informasi mengenai kekuatan musuh, jarak tempuh dan waktu, kondisi medan, curah hujan menjadi berita utama; karena taktik dan strategi yang jitu hanya dapat dibangun melalui penguasaan informasi.
Serangan-serangan besar rakyat pribumi selalu dilaksanakan pada bulan-bulan penghujan; para senopati menyadari sekali untuk bekerja sama dengan alam sebagai “senjata” tak terkalahkan. Bila musim penghujan tiba, gubernur Belanda akan melakukan berbagai usaha untuk gencatan senjata dan berunding, karena hujan tropis yang deras membuat gerakan pasukan mereka terhambat. Penyakit malaria, disentri, dan sebagainya merupakan “musuh yang tak tampak” melemahkan moral dan kondisi fisik bahkan merenggut nyawa pasukan mereka. Ketika gencatan senjata terjadi, Belanda akan mengkonsolidasikan pasukan dan menyebarkan mata-mata dan provokator mereka bergerak di desa dan kota; menghasut, memecah belah dan bahkan menekan anggota keluarga para pengeran dan pemimpin perjuangan rakyat yang berjuang di bawah komando pangeran Diponegoro. Namun pejuang pribumi tersebut tidak gentar dan tetap berjuang melawan Belanda.
Pada puncak peperangan, Belanda mengerahkan lebih dari 23.000 orang serdadu; suatu hal yang belum pernah terjadi ketika itu, ketika suatu wilayah yang tidak terlalu luas seperti Jawa Tengah dan sebagian Jawa timur dijaga oleh puluhan ribu serdadu. Dari sudut kemiliteran, ini adalah perang pertama yang melibatkan semua metode yang dikenal dalam sebuah perang modern. Baik metode perang terbuka (open warfare), maupun metode perang gerilya (guerilla warfare) yang dilaksanakan melalui taktik hit and run dan penghadangan. Ini bukan sebuah perang suku, melainkan suatu perang modern yang memanfaatkan berbagai siasat yang saat itu belum pernah dipraktikkan. Perang ini juga dilengkapi dengan taktik perang urat saraf (psy-war) melalui insinuasi dan tekanan-tekanan serta provokasi oleh pihak Belanda terhadap mereka yang terlibat langsung dalam pertempuran; dan kegiatan telik sandi (spionase) dengan kedua belah pihak saling memata-matai dan mencari informasi mengenai kekuatan dan kelemahan lawannya.
Pada tahun 1827, Belanda melakukan penyerangan terhadap Diponegoro dengan menggunakan sistem benteng sehingga Pasukan Diponegoro terjepit. Pada tahun 1829, Kyai Maja, pemimpin spiritual pemberontakan, ditangkap. Menyusul kemudian Pangeran Mangkubumi dan panglima utamanya Sentot Alibasya menyerah kepada Belanda. Akhirnya pada tanggal 28 Maret 1830, Jenderal De Kock berhasil menjepit pasukan Diponegoro di Magelang. Di sana, Pangeran Diponegoro menyatakan bersedia menyerahkan diri dengan syarat sisa anggota laskarnya dilepaskan. Maka, Pangeran Diponegoro ditangkap dan diasingkan ke Manado, kemudian dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya di Benteng Rotterdam tanggal 8 Januari 1855.
Perang melawan penjajah lalu dilanjutkan oleh para putra Pangeran Diponegoro: Ki Sodewa atau Bagus Singlon, Dipaningrat, Dipanegara Anom, Pangeran Joned yang terus-menerus melakukan perlawanan walaupun harus berakhir tragis. Empat putra Pangeran Diponegoro dibuang ke Ambon, sementara Pangeran Joned terbunuh dalam peperangan, begitu juga Ki Sodewa.
Berakhirnya Perang Jawa yang merupakan akhir perlawanan bangsawan Jawa. Perang Jawa ini banyak memakan korban di pihak pemerintah Hindia sebanyak 8.000 serdadu berkebangsaan Eropa, 7.000 pribumi, dan 200.000 orang Jawa. Sehingga setelah perang ini jumlah penduduk Ngayogyakarta menyusut separuhnya. Mengingat bagi sebagian kalangan dalam Kraton Ngayogyakarta, Pangeran Diponegoro dianggap pemberontak, sehingga konon anak cucunya tidak diperbolehkan lagi masuk ke Kraton, sampai kemudian Sri Sultan Hamengkubuwana IX memberi amnesti bagi keturunan Diponegoro, dengan mempertimbangkan semangat kebangsaan yang dipunyai Diponegoro kala itu. Kini anak cucu Diponegoro dapat bebas masuk Kraton, terutama untuk mengurus silsilah bagi mereka, tanpa rasa takut akan diusir.